Indonesia adalah mozaik indah yang tersusun dari ribuan pulau, ratusan suku, bahasa, dan keyakinan. Di tengah kekayaan ini, merajut kebhinekaan adalah tugas kolektif yang tak pernah usai. Sekolah Menengah Pertama (SMP) memegang peran sentral dalam mengajarkan toleransi sejak dini, memastikan generasi muda tumbuh dengan pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan, sehingga pondasi persatuan dan kesatuan bangsa tetap kokoh.
Pembelajaran toleransi di SMP tidak bisa hanya diserahkan pada satu mata pelajaran saja. Ia harus menjadi etos dan budaya sekolah yang terinternalisasi dalam setiap interaksi dan kegiatan. PMI, sebagai contoh, melalui proyek-proyek lintas budaya atau diskusi inklusif di kelas. Pada tanggal 10 April 2025, sebuah SMP di Jawa Barat mengadakan program “Sahabat Nusantara” di mana siswa-siswi diminta melakukan presentasi tentang kebudayaan dan adat istiadat dari suku-suku berbeda di Indonesia, lengkap dengan pakaian adat dan kuliner khas. Kegiatan ini secara langsung mendorong siswa untuk merajut kebhinekaan melalui pemahaman dan apresiasi terhadap keragaman budaya bangsa.
Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler juga menjadi platform efektif untuk menumbuhkan toleransi. Palang Merah Remaja (PMR), misalnya, mengajarkan pentingnya menolong sesama tanpa memandang latar belakang, suku, atau agama. Program bakti sosial yang melibatkan siswa dalam membantu masyarakat tanpa diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh PMR di sebuah SMP di Bali pada hari Sabtu, 21 Juni 2025, saat mereka menyalurkan bantuan kepada korban bencana tanpa membedakan keyakinan, secara nyata melatih empati dan semangat merajut kebhinekaan. Interaksi langsung ini lebih efektif daripada sekadar teori.
Peran guru sebagai teladan juga tidak bisa diabaikan. Guru harus menunjukkan sikap adil, terbuka, dan menghargai setiap siswa, tanpa memandang latar belakang mereka. Lingkungan kelas yang inklusif, di mana setiap suara dihargai dan setiap perbedaan dirayakan, adalah kunci. Sekolah juga dapat mengundang tokoh masyarakat atau perwakilan dari berbagai komunitas agama dan budaya untuk berbagi pengalaman, seperti yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara yang mengadakan seminar “Harmoni dalam Perbedaan” untuk guru-guru SMP pada tanggal 5 Mei 2025, menghadirkan berbagai tokoh agama. Ini membantu siswa melihat langsung praktik toleransi dalam kehidupan nyata.
Menghadapi potensi intoleransi, SMP juga harus proaktif dalam memberikan edukasi tentang bahaya diskriminasi dan bullying. Sesi bimbingan dan konseling dapat menjadi ruang aman bagi siswa untuk melaporkan atau mendiskusikan pengalaman intoleransi yang mereka alami atau saksikan. Kolaborasi dengan pihak kepolisian dalam memberikan penyuluhan tentang hukum dan etika dalam berinteraksi sosial, seperti yang pernah dilakukan oleh Polsek setempat di sebuah SMP di Jakarta Pusat pada tanggal 12 Juli 2025, juga dapat memperkuat pemahaman siswa tentang pentingnya menjaga kerukunan dan ketertiban.
Pada akhirnya, merajut kebhinekaan di SMP adalah investasi strategis untuk masa depan bangsa. Dengan menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan sejak dini, SMP berkontribusi mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa besar, mampu hidup harmonis di tengah kemajemukan, dan menjadi penjaga persatuan Indonesia. Ini adalah fondasi penting untuk peradaban yang lebih inklusif dan damai.
