Setelah kemerdekaan, Indonesia memilih Sistem Parlementer Indonesia. Periode 1950-1959 menjadi saksi bisu. Ini adalah masa transisi, penuh dinamika politik. Kabinet seringkali jatuh bangun, menciptakan ketidakstabilan. Era ini juga dikenal sebagai Demokrasi Liberal, di mana kebebasan politik sangat dominan.
Karakteristik utama Sistem Parlementer Indonesia adalah dominasi legislatif. Parlemen memiliki kekuasaan besar dalam menentukan jalannya pemerintahan. Kabinet bertanggung jawab penuh kepada parlemen, bukan kepada presiden. Presiden lebih berperan sebagai simbol kepala negara.
UUD Sementara 1950 menjadi landasan hukumnya. Konstitusi ini memberikan wewenang luas kepada perdana menteri. Mosi tidak percaya dari parlemen bisa dengan mudah menjatuhkan kabinet. Akibatnya, rata-rata umur kabinet sangat singkat. Ini menghambat kesinambungan program pembangunan nasional.
Salah satu tantangan terbesar adalah fragmentasi politik. Banyak sekali partai politik bermunculan. Masing-masing memiliki ideologi dan kepentingan sendiri. Pembentukan koalisi menjadi sulit dan rapuh. Ini membuat kabinet sulit bertahan lama dalam Sistem Parlementer Indonesia yang sangat beragam.
Contoh nyata instabilitas ini adalah seringnya pergantian perdana menteri. Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap, dan Djuanda bergantian memimpin. Setiap pergantian kabinet membawa ketidakpastian baru. Hal ini menghambat fokus pada masalah-masalah fundamental negara.
Meski begitu, era ini juga mencatat prestasi. Pemilihan Umum 1955 adalah salah satunya. Pemilu pertama yang demokratis dan sukses. Ini menunjukkan kematangan politik rakyat. Partisipasi masyarakat sangat tinggi, membuktikan semangat berdemokrasi.
Namun, di balik kebebasan politik, muncul masalah lain. Pemberontakan di daerah menjadi ancaman serius. PRRI/Permesta menuntut keadilan dan otonomi lebih. Pemerintah pusat harus berjuang menjaga keutuhan NKRI. Konflik internal ini melemahkan persatuan bangsa.
Kondisi ekonomi juga terpengaruh. Instabilitas politik berdampak pada investasi dan pembangunan. Inflasi menjadi masalah kronis. Program pembangunan ekonomi sulit berjalan lancar. Masyarakat merasakan dampak langsung dari kondisi yang tidak menentu.
Puncak ketidakstabilan mengarah pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Soekarno membubarkan Konstituante. Ia kembali memberlakukan UUD 1945. Dekrit ini mengakhiri Sistem Parlementer Indonesia. Dimulailah era Demokrasi Terpimpin yang lebih sentralistik.
Periode Demokrasi Liberal adalah pelajaran berharga. Indonesia belajar banyak tentang kompleksitas politik. Memahami tantangan dan dinamika kabinet saat itu. Ini adalah bagian integral dari sejarah. Kita bisa mengambil hikmah untuk membangun sistem politik yang lebih stabil.